PT. Pertamina (Persero) mulai fokus untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT – renewable energy), terutama untuk memenuhi energi di wilayah terpencil. Bahkan Pertamina berencana masuk ke area penggunaan hidrogen dan nuklir, sebagai upaya memproduksi energi non karbon.
SVP Research and Technology PT Pertamina Dadi Sugiana mengatakan nuklir merupakan salah satu opsi untuk memproduksi energi murah dan ramah lingkungan.
“Hidrogen yang kami akan coba adalah hidrogen di use refinery, dan untuk memproduksi metanol, ketiga baru mobility. Sebagai penggerak hidrogen yang digunakan adalah nuklir supaya bisa memproduksi energi murah,” kata Dadi dalam paparannya pada Pertamina Energy Forum 2019.

Saat ini Pertamina telah memiliki pembangkit listrik tenaga panas bumi yang menghasilkan sekitar 700 MW dan akan ditambah 55 MW lagi pada 2020. Dadi mengakui penambahan ini masih sangat kecil karena banyaknya tantangan dalam pengembangan geothermal.
Selain itu, perusahaan juga berencana mengembangkan biogas atau biomassa dari limbah pengolahan crude palm oil (CPO). Sebelumnya, Pertamina melalui anak usahanya Pertamina Geothermal Energy (PGE) menyiapkan investasi sebesar US$ 2,68 miliar atau setara Rp 38,05 triliun untuk menambah kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 440 MW sampai dengan 2026.

Dalam kesempatan yang sama Director For Planning, Investment, and Risk Management Heru Setiawan mengatakan untuk mengantisipasi perkembangan energi global dan trade balance, Pertamina memiliki tiga skenario yang dirancang. Pertama menjalankan bisnis seperti biasa.
Kedua, pasar sebagai penggerak dan ketiga mengupayakan energi hijau (green as possible). Heru mengatakan Pertamina memilih strategi pasar sebagai penggerak (market as drivers), karena perkembangan industri energi secara global pada akhirnya mengarah pada energi hijau.
Selain itu kecepatan dari menjalankan bisnis seperti biasa ke penerapan energi hijau, akan menyesuaikan dengan kebijakan regulasi dan kesiapan pasar. Untuk Indonesia, skenario pasar sebagai penggerak merupakan langkah transisi penerapan energi hijau.
“Demand energi bersih masih akan dipenuhi oleh minyak bumi dengan porsi yang dominan. Namun mulai ada substitusi ke gas bisa secara masif, dan EBT secara bertahap,” kata Heru.
Saat ini, menurutnya pemanfaatan EBT di Indonesia masih belum agresif karena ada beberapa faktor seperti model bisnis yang belum mendukung terciptanya ekosistem bisnis yang atraktif.

Pertamina Bakal Kembangkan Energi Nuklir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *