Pemerintah mengapresiasi penggunaan pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBG) oleh produsen kelapa sawit.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan hal ini dapat dijadikan pilihan bagi pabrikan pengolahan sawit yang jauh dari transmisi listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk membangun PLTBG.
Selain itu, pembangunan PLTBG dinilai dapat meningkatkan elektrifikasi bagi masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit (PKS).
“PTPN V bisa jadi mandiri dalam penyediaan listriknya [dan] tidak harus tergantung pada [bahan bakar] diesel yang mahal,” katanya di PKS Terantam, Jumat (6/3/2020).
Bambang menambahkan penggunaan PLTBG dapat meringankan biaya produksi PTPN V. Hal tersebut, lanjutnya, akan tercermin pada peningkatan serapan tandan buah segar (TBS) dari kebun plasma yang pada akhirnya mensejahterakan petani sawit sekitar PTPN V.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) Hammam Riza menjelaskan pengembangan PLTBG di PKS lain dapat mengakselerasi target pemerintah pada 2025. Pasalnya, pemerintah menargetkan kontribusi biogas pada 2025 mencapai 489,8 juta m3.
Adapun, Hammam menghitung pabrikan pengolahan sawit nasional berpotensi menghasilkan 120,2 juta ton limbah cair dari produksi minyak sawit mentah atau palm oil mill effluent (POME) pada tahun lalu. POME tersebut dapat diolah menjadi 1,5 Gigawatt listrik atau mengurangi impor LPG secara signifikan.
“Produksi listrik bisa surplus. Kalau dikonversi menjadi bahan bakar, dari angka tersebut bisa dihasilkan 2,6 juta ton LPG atau sekitar 45 persen dari impor LPG,” katanya.
PTPN V memanfaatkan POME untuk menghasilkan biogas. Adapun, biogas tersebut akan disalurkan ke pabrik pengolahan kelapa sawit untuk menggantikan konsumsi gas maupun bahan bakar lainnya dalam proses produksi minyak sawit mentah (CPO).
Pembangunan PLTBG Teranam di PTPN V yang merupakan hasil kerja sama dengan BPPT ini memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) mencapai 60 persen. Selain itu, PLTBG Teranam berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 18.000 ton per tahun.
Bambang menilai PLTBG tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk memproduksi bio compressed natural gas (Bio-CNG) sebagai substitusi konsumsi liquid pertoleum gas (LPG) masyarakat sekitar PKS. Hal tersebut, ujarnya, dapat membantu meringankan neraca perdagangan nasional mengingat 50 persen bahan bakar impor minyak dan gas (migas) merupakan LPG.