Apakah bener, polusi udara menurun selama masa diterapkannya social distancing ? Mungkin ada benarnya tapi tunggu sebentar, ada banyak faktor yang memungkinkan polusi udara bisa menurun konsentrasinya.
Menurut LAPAN dalam artikel ini, tingkat konsentrasi PM 10 menurun pada bulan Maret 2020 dibandingkan dengan bulan yang sama tahun sebelumnya. Badan Antariksa Eropa (ESA) mengamati perubahan konsentrasi partikulat Nitrogen Dioksida (NO2) di Spanyol, Perancis dan Italia pada Maret 2020 menunjukan penurunan konsentrasi partikulat di udara. Hal ini terjadi karena adanya penurunan aktivitas industri dan transportasi semasa karantina wilayah di negara-negara tersebut.
Penurunan polusi udara dan kemungkinan penurunan emisi karbon hanyalah efek samping dari seluruh kegiatan ekonomi dan masyarakat kita. Ini adalah cara paling berkelanjutan yang bisa dibayangkan untuk mengendalikan emisi dan membersihkan polusi, dan juga yang paling tidak tahan lama.
Pasalnya, setelah selama dua bulan menetapkan lockdown, sejumlah negara seperti Cina dan US telah merencanakan untuk melonggarkan beberapa regulasi menyangkut emisi untuk mendongkrak kembali roda perekonomian yang terpuruk akibat wabah virus corona. Mengutip berita dari laman ini, LSM Global Energy Monitor melaporkan Tiongkok telah menyetujui peningkatan kapasitas tenaga batu bara bulan lalu. Jumlahnya lebih besar daripada 2019. Ini berarti tingkat emisi akan melonjak lebih besar dari sebelumnya.
Bagaimana dengan Ibukota Jakarta sendiri ? Sejumlah media memberitakan akibat pemberlakuan masa social distancing, tingkat polusi udara di kota Jakarta menurun. Salah satunya bisa dilihat disini. Aplikasi monitoring kualitas udara menunjukkan pada 10 April lalu, indeks kualitas udara berada di level Sangat Baik (Hijau). Sejumlah netizen juga melaporkan dari lokasi rumahnya mereka bisa melihat langit yang biru, dan nampak gunung dari kejauhan.
Namun, ternyata hal tersebut berlangsung hanya beberapa jam saja. Jika ditarik data dan dianalisis lebih lanjut secara keseluruhan, rerata indeks kualitas udara selama 3 minggu masa WFH, masih berada pada kategori Tidak Sehat (Kuning dan Oranye). Ini menunjukkan bahwa masih ada sumber emisi lain yang berkontribusi terhadap polusi udara Jakarta. Sumber emisi tersebut tidak hanya berasal dari transportasi dan aktivitas pergerakan masyarakat Jakarta saja, namun ada sumber tidak bergerak yang lain, yang hingga saat ini masih luput dari perhatian publik, khususnya Pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kualitas udara di suatu wilayah. Selain aktivitas industri, transportasi, dan pergerakan manusia, polusi udara juga sangat dipengaruhi oleh cuaca, arah angin, kepadatan populasi, serta intensitas cahaya matahari. Pemberlakuan masa social distancing dan PSBB, tidak semata-mata menjadi penyebab kualitas udara Jakarta membaik.
Dengan terjadinya wabah ini, kita harus lebih menyadari bahwa udara bersih merupakan hak paling mendasar manusia. Sebab, kita bernafas setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik. Penanganan polusi udara harus dilaksanakan dengan lebih sistematis, terukur, dan terarah. Memperbanyak alat monitoring kualitas udara, pembenahan sistem transportasi umum massal yang terintegrasi, melakukan inventarisasi emisi untuk mengetahui sumber polutan, serta memperketat standar kualitas udara menjadi hal yang sangat mutlak untuk dilakukan segera.
Dunia yang lebih aman dan lebih ramah lingkungan tidak akan diberikan kepada kita oleh krisis kesehatan global, resesi ekonomi, atau sejenis bencana lainnya – harapan tersebut perlu dibangun sepotong demi sepotong melalui upaya global bersama yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Karena, tidak sepatutnya saat udara bersih dan segar diluar sana, tapi justru kita tak bisa menikmatinya dengan leluasa, karena harus #DiRumahAja akibat pandemi. Seharusnya yang terjadi adalah kita bisa menikmati udara bersih dan segar, langit yang biru, serta bebas beraktivitas di luar ruang, setiap hari, tanpa syarat.