Industri dalam negeri siap memasok kebutuhan dalam negeri untuk menghadapi pandemi Covid-19. Kebutuhan alat kesehatan tersebut seperti alat pelindung diri (APD), masker, obat-obatan, sarung tangan karet, vitamin, dan pansanitasi tangan.
Untuk kebutuhan APD, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan, ada 28 perusahaan yang memproduksi APD. Pihaknya pun telah menghubungi perusahaan tersebut satu persatu untuk didata.
“Secara kompilasi, 28 perusahaan tersebut mampu memproduksi APD sejumlah 28 juta pieces (pcs) per bulan apabila utilisasi mereka 100%,” tutur Agus saat rapat kerja virtual bersama komisi VI DPR RI, dari Jakarta, Senin (6/4).
Apabila kebutuhan APD dalam negeri mencapai 5 juta hingga 10 juta unit per bulan, Agus optimistis kebutuhan tersebut akan terpenuhi. Bahkan, apabila perlu, sisa APD tersebut nantinya bisa dikespor ke luar negeri sebagai alat penawaran ke negara yang memproduksi ventilator pernapasan.
APD tersebut dibagi menjadi dua jenis, yaitu medical grade dan nonmedical grade. Saat ini, produksi APD medical grade masih belum besar, hanya 1,2 juta pcs per bulan. Sementara untuk APD nonmedical grade bisa diproduksi sebanyak 12 juta pcs per bulan.
“Bahan bakunya ada, tersedia di Indonesia. Hanya saja selama ini bahan baku tersebut, polyprophelene, selama ini tak digunakan untuk memproduksi APD,” ujar Agus.
Beberapa perusahaan tekstil juga telah mendiversifikasi produksi mereka ke produksi alat kesehatan seperti PT Pan Brothers Tbk. (PBRX) dan PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex.
Kementerian Perindustrian, telah memberikan keringanan izin usaha kepada industri tekstil untuk memproduksi alat kesehatan. Sehingga, ketika industri tekstil akan mendiversifikasi usahanya ke produksi alat kesehatan, mereka tak perlu lagi izin dari Kementerian Perindustrian.
Kemudian untuk industri farmasi, telah ada lima perusahaan yang memproduksi hydroxychloroquine sulfate dengan kapasitas 1,5 juta tablet per bulan dan chloroquine phospate dengan kapasitas 1,4 juta tablet per bulan.
Sektor farmasi mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku obat. Sebab, bahan baku obat selama ini didapatkan dari China dan India. Kedua negara tersebut seperti diketahui melakukan penguncian wilayah sehingga pengiriman bahan baku menjadi terhambat.
Sementara untuk produksi masker, ada 17 perusahaan yang mampu berproduksi dengan kapasitan 318,4 juta masker/bulan. Untuk masker, Agus mengatakan memang ada beberapa kebutuhan impor. Akan tetapi, sebagian besar bahan baku bisa diperoleh dari dalam negeri.
Sedangkan untuk produksi ethanol ada tujuh perusahaan yang mampu berproduksi dengan kapasitas 20.400 kl/bulan. Kemudian sebanyak 104 perusahaan mampu memproduksi hand sanitizer dengan kapasitas produksi 16.400 kl/bulan.
“Produksi ethanol dan hand sanitizer suplainya mencukupi. Bahkan kami menerima surat dari asosiasi ethanol yang meminta diberikan alokasi untuk ekspor. Permintaan mereka sedang kami pelajari,” katanya.