Pada awal Maret 2020, tim peneliti UI dan IPB mengumumkan bahwa jambu biji, kulit jeruk, dan daun kelor memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obat anti Covid-19 karena memiliki beberapa senyawa di antaranya hesperidin, rhamnetin, kaempferol, kuersetin, dan myricetin yang merupakan senyawa yang menjadi hasil penelitian dengan pendekatan bioinformatika.
Serentak banyak broadcast yang tersebar, dan banyak masyarakat yang bertanya apakah benar demikian. Jika kita teliti lebih lanjut siaran pers tersebut, tim peneliti di atas sudah menekankan bahwa senyawa yang mereka temukan adalah hasil dari studi bioinformatika, salah satunya molecular docking dan virtual screening yang masih memerlukan uji lebih lanjut untuk mengkonfirmasi aktivitas terapeutiknya. Ini yang belum dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat awam.
Virtual screening adalah suatu kegiatan pencarian kandidat obat (dikenal juga dengan senyawa kecil yang bekerja sebagai inhibitor atau penghambat reseptor obat) yang salah satunya menggunakan metode molecular docking dengan pendekatan pemodelan komputasi. Metode ini menggunakan algoritma komputer untuk menambatkan senyawa kandidat obat ke protein yang dijadikan sebagai target. Interaksi ini kemudian dinilai dengan scoring function untuk melihat apakah afinitas ikatan (binding affinity) antara dua senyawa tersebut cukup kuat atau tidak.

Jika dilihat secara termodinamika, afinitas ikatan yang diukur dengan scoring function ini bersifat approximation. Oleh karena itu, biasanya virtual screening menggunakan molecular docking hanya dapat memisahkan senyawa binder (biasanya ratusan) dari non binder (biasanya jutaan) dalam sebuah database senyawa.
Senyawa binder ini perlu dikaji lebih lanjut dengan metode komputasi yang lebih akurat misalnya molecular dynamics dan alchemical binding free energy calculation, atau langsung diuji secara in vitro di laboratorium. Setelah itu, kandidat obat perlu diuji lagi di tahap pra klinis dan klinis. Proses ini bisa memerlukan waktu yang cukup lama, pada beberapa kasus dapat mencapai belasan tahun.
Lalu, apakah jambu biji, kulit jeruk, dan daun kelor dapat membantu mengobati atau setidaknya mencegah Covid-19 menginfeksi tubuh manusia ? Belum ada hasil studi yang secara valid menyatakan demikian. Bahkan, sampai dengan tulisan ini dibuat, belum ada obat yang secara spesifik ditujukan untuk mengobati Covid-19 yang teruji secara klinis.
Beberapa pasien dapat sembuh dengan mengkonsumsi klorokuin fosfat (antimalaria). Pasien yang lain dapat sembuh dengan obat HIV (lopinavir dan ritonavir, protease inhibitor). Hal ini mungkin disebabkan persamaan HIV dan Covid-19 yang sama-sama memiliki enzim protease.
Dalam beberapa model protein yang terdapat di Protein Data Bank (PDB) (ID: 6M1D, 6M17, 6M18) bahkan dijelaskan bahwa ternyata ada interaksi antara enzim yang dimiliki Covid-19 dengan enzim ACE2 (angiotensin-converting enzyme 2) yang terdapat dalam tubuh manusia. Jika ada penjelasan ilmiah bagaimana sebuah obat dapat menghambat Covid-19, mungkin interaksi antara enzim Covid-19 dan enzim ACE2 dalam tubuh manusialah yang perlu dihambat, bukan hanya enzim yang terdapat pada Covid-19.
Uniknya, pasien yang positif Covid-19 di Indonesia bahkan dapat sembuh dengan pengobatan standar. Maka dapat disimpulkan, bisa jadi antibodi dalam tubuh kita yang justru berperan penting dalam melawan virus ini, bukan obat yang diberikan. Hal yang perlu diperhatikan justru efek samping dari obat yang diberikan jika dikonsumsi tidak secara semestinya.

Eko Aditya Rifai,
dosen dan peneliti di Laboratorium Komputasi Biomedik dan Rancangan Obat Fakultas Farmasi Universitas Indonesia

Covid-19, Bioinformatika, dan Tanaman Herbal Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *